Tsunami Sanriku adalah salah satu bencana tsunami paling dahsyat yang pernah melanda Jepang. Gelombang tsunami besar ini menghantam wilayah pesisir Sanriku di pantai timur laut Pulau Honshu. Tsunami ini terjadi pada beberapa kesempatan, namun dua peristiwa besar yang paling terkenal adalah Tsunami Sanriku 1896 dan Tsunami Sanriku 1933. Kedua tsunami ini menelan ribuan korban jiwa dan meninggalkan dampak besar pada sejarah dan masyarakat Jepang.
Pada tanggal 15 Juni 1896, wilayah Sanriku mengalami salah satu tsunami paling merusak dalam sejarah Jepang. Peristiwa ini dikenal sebagai Meiji-Sanriku Tsunami, karena terjadi pada masa periode Meiji. Yang membuat tsunami ini unik dan tragis adalah bahwa gempa bumi yang memicunya tidak begitu terasa oleh penduduk setempat, karena pusat gempa berada jauh di lepas pantai Samudra Pasifik. Gempa tersebut diperkirakan berkekuatan 8,5 skala Richter dan berasal dari zona subduksi di lepas pantai timur Jepang.
Meskipun getaran gempa tidak terasa begitu kuat, tsunami yang dihasilkan sangat besar dan tiba-tiba. Gelombang tsunami setinggi hingga 38 meter menghantam wilayah pesisir Sanriku, yang meliputi prefektur Iwate dan Miyagi. Gelombang besar ini datang di malam hari, sehingga banyak penduduk tidak menyadari bahaya yang mendekat.
Akibatnya, lebih dari 22.000 orang tewas akibat tsunami ini. Banyak desa-desa nelayan yang terletak di sepanjang pantai Sanriku hancur total, dan bangunan serta kapal-kapal tersapu bersih. Tsunami Sanriku 1896 dianggap sebagai salah satu yang paling mematikan dalam sejarah Jepang, karena skala kehancurannya yang sangat besar dan jumlah korban yang tinggi.
Hanya beberapa dekade setelah bencana 1896, wilayah Sanriku kembali dilanda tsunami besar pada 3 Maret 1933. Gempa bumi berkekuatan 8,4 skala Richter mengguncang daerah yang sama, dan tsunami yang dihasilkan kembali menghancurkan wilayah pesisir Sanriku. Peristiwa ini dikenal sebagai Tsunami Showa-Sanriku, karena terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Showa.
Meskipun peringatan tsunami sudah lebih baik dibandingkan tahun 1896, wilayah Sanriku tetap tidak sepenuhnya siap untuk menghadapi gelombang besar yang melanda. Tsunami kali ini mencapai ketinggian hingga 28 meter di beberapa tempat. Akibat bencana ini, sekitar 3.000 orang tewas, sebagian besar dari desa-desa nelayan yang terletak di dekat pantai.
Selain korban jiwa, tsunami ini juga menyebabkan kerusakan infrastruktur yang signifikan. Rumah-rumah, jalan-jalan, dan fasilitas umum hancur, serta banyak kapal nelayan hilang. Tsunami Showa-Sanriku menjadi peringatan akan betapa berbahayanya tsunami bagi wilayah pesisir Jepang yang rawan gempa bumi.
Wilayah Sanriku terletak di pantai timur laut Pulau Honshu, tepat di tepi Palung Jepang, yang merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik. Zona subduksi ini merupakan tempat lempeng tektonik Pasifik bergerak di bawah lempeng Eurasia, menciptakan tekanan yang menyebabkan gempa bumi besar. Gempa bumi di zona subduksi ini sering kali memicu tsunami besar, karena adanya pergeseran dasar laut yang tiba-tiba.
Kawasan pesisir Sanriku juga memiliki bentuk geografis yang unik, dengan banyak teluk sempit dan fjord yang menghadap Samudra Pasifik. Bentuk ini dapat memperkuat kekuatan gelombang tsunami yang datang, membuat wilayah ini sangat rentan terhadap bencana tsunami.
Setelah dua tsunami besar tersebut, Jepang mulai berupaya memperkuat mitigasi bencana di wilayah pesisirnya. Pada pertengahan abad ke-20, Jepang mulai membangun sistem peringatan dini tsunami, serta memperkuat infrastruktur pantai dengan tanggul dan pemecah gelombang untuk melindungi wilayah pesisir. Edukasi masyarakat tentang bahaya tsunami dan evakuasi juga ditingkatkan, terutama di wilayah-wilayah yang paling rawan seperti Sanriku.
Pengalaman dari tsunami 1896 dan 1933 juga memainkan peran penting dalam persiapan Jepang menghadapi Tsunami Tohoku 2011, yang merupakan salah satu tsunami terbesar dalam sejarah modern. Meskipun demikian, skala kerusakan dan jumlah korban dari peristiwa 2011 menunjukkan bahwa tsunami tetap menjadi ancaman besar bagi Jepang, dan mitigasi bencana harus terus diperkuat.
Tsunami Sanriku, baik pada tahun 1896 maupun 1933, menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan alam yang bisa menghancurkan wilayah pesisir dalam sekejap. Dua peristiwa ini memakan puluhan ribu korban jiwa dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa di wilayah pesisir timur laut Jepang. Meskipun sistem peringatan dan mitigasi tsunami telah mengalami banyak kemajuan sejak saat itu, peristiwa ini tetap menjadi pengingat bahwa wilayah Jepang yang berada di zona seismik aktif harus selalu waspada terhadap ancaman tsunami.
Pengalaman dari bencana tsunami Sanriku membantu membentuk pendekatan Jepang terhadap penanganan bencana alam, baik dalam hal teknologi maupun pendidikan masyarakat, yang saat ini menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia.